Pengamat Properti Panangian Simanungkalit mengatakan pada 1950, Wakil Presiden ke-1 Indonesia M. Hatta menyatakan 50 tahun mendatang atau pada tahun 2000, Indonesia diharapkan merdeka dari kepemilikan rumah. Kenyataannya, ketika Presiden ke-2 Indonesia Soeharto lengser, angka kekurangan rumah di Indonesia hanya sebesar 5,3 juta unit. Namun, lanjut Panangian, kini angka backlog perumahan di Indonesia melonjak mencapai sekitar 12,7 juta unit.
Untuk mengatasi kesenjangan yang semakin lebar tersebut, perlu keberpihakan nyata dari Pemerintah salah satunya dengan segera menerbitkan Undang-Undang Mortgage Banking.
“Apakah mungkin negara [Pemerintah] itu turun tangan untuk membuat Undang-Undang Perbankan versi baru, termasuk Undang-Undang Bank Syariah, Undang-Undang Bank Konvensional, dan Undang-Undang Mortgage Banking baik syariah maupun konvensional. Ujungnya kehadiran merak itu adalah sebagai alat yang bakal membantu pemerintah dalam program rumah rakyat,” jelas Panangian di Jakarta, Senin (23/10).
Panangian merinci, ketika di masa akhir jabatan Presiden ke-2 Indonesia Soeharto, angka pembiayaan rumah dalam satu tahun mencapai sekitar 200.000 unit Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sayangnya, prestasi tersebut terus turun hingga ke 40.000 unit, sejalan dengan terjadinya krisis. Secara perlahan, kini penyaluran tersebut naik kembali ke posisi 200.000 unit rumah per tahun setelah Presiden Joko Widodo mengusung Program Satu Juta Rumah.
“Jadi perumahan ini memang perlu keberpihakan Pemerintah dengan mau tidak mau Pemerintah harus segera menerbitkan Undang-Undang Mortgage Banking. Apalagi sekarang angka backlog sudah sangat tinggi dan target selanjutnya bagaimana nanti bisa menyalurkan hingga 1,3 juta KPR sehingga target zero backlog di 2045 bisa tercapai,” kata Panangian.
Menurut Panangian, keberpihakan Pemerintah tersebut juga mendesak dilakukan karena melesatnya sektor perumahan akan turut membantu ekonomi nasional. “Sektor perumahan itu terkait dengan sekitar 180 subsektor lainnya. Jadi kalau saat ini saja, kontribusi sektor perumahan terhadap ekonomi nasional hanya 2% saja, bayangkan jika presentase tersebut bisa didongkrak naik maka dampaknya akan lebih dahsyat lagi,” pungkasnya.
Untuk mengatasi kesenjangan yang semakin lebar tersebut, perlu keberpihakan nyata dari Pemerintah salah satunya dengan segera menerbitkan Undang-Undang Mortgage Banking.
“Apakah mungkin negara [Pemerintah] itu turun tangan untuk membuat Undang-Undang Perbankan versi baru, termasuk Undang-Undang Bank Syariah, Undang-Undang Bank Konvensional, dan Undang-Undang Mortgage Banking baik syariah maupun konvensional. Ujungnya kehadiran merak itu adalah sebagai alat yang bakal membantu pemerintah dalam program rumah rakyat,” jelas Panangian di Jakarta, Senin (23/10).
Panangian merinci, ketika di masa akhir jabatan Presiden ke-2 Indonesia Soeharto, angka pembiayaan rumah dalam satu tahun mencapai sekitar 200.000 unit Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sayangnya, prestasi tersebut terus turun hingga ke 40.000 unit, sejalan dengan terjadinya krisis. Secara perlahan, kini penyaluran tersebut naik kembali ke posisi 200.000 unit rumah per tahun setelah Presiden Joko Widodo mengusung Program Satu Juta Rumah.
“Jadi perumahan ini memang perlu keberpihakan Pemerintah dengan mau tidak mau Pemerintah harus segera menerbitkan Undang-Undang Mortgage Banking. Apalagi sekarang angka backlog sudah sangat tinggi dan target selanjutnya bagaimana nanti bisa menyalurkan hingga 1,3 juta KPR sehingga target zero backlog di 2045 bisa tercapai,” kata Panangian.
Menurut Panangian, keberpihakan Pemerintah tersebut juga mendesak dilakukan karena melesatnya sektor perumahan akan turut membantu ekonomi nasional. “Sektor perumahan itu terkait dengan sekitar 180 subsektor lainnya. Jadi kalau saat ini saja, kontribusi sektor perumahan terhadap ekonomi nasional hanya 2% saja, bayangkan jika presentase tersebut bisa didongkrak naik maka dampaknya akan lebih dahsyat lagi,” pungkasnya.